Sendenbu, Departemen Propaganda Buatan Jepang di Tanah Jawa saat PD II



Apa teman-teman pernah mendengar kata Sendenbu? Bukan, bukan idol group Chō Tokimeki Sendenbu (超ときめき♡宣伝部) ya! Meski memiliki nama serupakeduanya berbeda jauh. Jika Chō Tokimeki Sendenbu berisi kumpulan gadis kawaii, sendenbu yang JS maksud malah berkaitan dengan propaganda Jepang, dan yang (mungkin) bakal membuat kalian kaget, sendenbu ini dibentuk di Pulau Jawa saat zaman penjajahan Jepang dulu. Nah, memang, propaganda apa sih yang dibuat sendenbu ini? Mari kita telusuri!

Seperti sudah disebutkan di atas, sendenbu adalah Departemen Propaganda bentukan Kekaisaran Jepang di bawah struktur Departemen Propaganda Kekaisaran Jepang atau Ganseikanbu. Nah, mengutip buku Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia karya Nino Oktorino, sendenbu ini ditugaskan khusus di Pulau Jawa oleh Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II dan  berdiri pada Agustus 1942.

propaganda jepang sendenbu japanesestation.com
Poster propaganda Jepang di Indonesia (wowshack.com)

Sendenbu memiliki beberapa tugas, yaitu menyediakan informasi mengenai pemerintahan sipil bagi Kekaisaran Jepang di Pulau Jawa dan tentu saja, propaganda. Selain itu, Sendenbu juga mendirikan sebuah asrama untuk mengkader pemuda Indonesia di bidang politik dan propaganda untuk membantu kebijakan perang kekaisaran Jepang, yang dikenal dengan nama Asrama Angkatan Baroe Indonesia atau yang disebut juga dengan Asrama Menteng 31, yang diketuai oleh salah satu tokoh Kemerdekaan, Soekarni.

Nah, sendenbu sendiri terbagi ke dalam tiga seksi:  Administrasi, Berita dan Pers, serta tentu, propaganda.

Memang, propaganda apa sih yang dibuat oleh Sendenbu?

Sebelum membahasnya, mari kita bahas apa tujuan di balik propaganda yang dilakukan Jepang. Mari kita lihat beberapa propaganda lain, seperti propaganda Tiga A dan propaganda yang berkaitan dengan Tokyo Rose. Jika diperhatikan, semua propaganda ini memiliki tujuan sama: untuk menguasai secara perlahan dengan cara halus. Nah, propaganda yang dibuat sendenbu pun sama. Dalam buku Propaganda Media On Java Under the Japanese karya Aiko Kurasawa yang dikutip dari jurnal milik Dewi Yulianti, disebutkan bahwa  Jepang berpegang pada dua prinsip utama yaitu: bagaimana menarik hati rakyat (minshin ha’aku) dan bagaimana mengindoktrinasi dan menjinakkan mereka (senbu kosaku). Prinsip ini perlu dilaksanakan untuk memobilisasi seluruhrakyat guna mendukung kepentingan perang dan untuk merubah mentalitas mereka secara keseluruhan. Berdasarkan keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus dibawa kepada pola tingkah laku dan berpikir Jepang, propaganda ditujukan untuk mengindoktrinasi bangsa ini agar dapat menjadi mitra yang dapat dipercaya dalam Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.

propaganda jepang sendenbu japanesestation.com
Poster propaganda Jepang di Indonesia (wowshack.com)

Nah, saat Jepang telah berhasil memasuki Indonesia, mereka mulai menjalankan propaganda dan rayuannya dengan mendekati wartawan dan media terlebih dahulu untuk mendapatkan simpati. Setelah itu, perlahan mereka mulai menyisipkan propaganda lain seperti Tiga A. Mereka juga selalu melakukan propagandanya dalam bahasa Indonesia agar rakyat Indonesia termakan rayuan. Misalnya saja, saat menginjakkan kaki di Pulau Jawa, rakyat Indonesia akan memberikan jalan sambil meneriakkan “banzai” dan orang Jepang akan menyerukan, “Hidup Indonesia!”

Kembali ke Sendenbu, badan ini dibentuk setelah pemerintah militer Jepang terbentuk secara resmi dan berhasil mengendalikan sarana-sarana penerangan dan penyiaran untuk publik. Semua diatur Jepang hingga terbentuklah Sendenbu pada Agustus 1942.

Menurut Aiko Kurosawa, kegiatan Sendenbu ditujukan kepada penduduk sipil di Jawa, meliputi orang Indonesia, Indo-Eropa, minoritas Asia, dan Jepang. Aktivitas Sendenbu juga terbatas pada urusan sipil. Kendati demikian, Pemerintah Militer Jepang tidak mempercayakan kepemimpinan departemen ini kepada orang sipil,  karena itulah departemen ini selalu dipegan oleh perwira Angkatan Darat Jepang seperti Kolonel Machida (Agustus 1942 – Oktober 1943), Mayor Adachi (Oktober 1943 – Maret 1945), dan Kolonel Takahashi (April – Agustus 1945). Dan seperti sudah disebutkan di atas, Sendenbu memiliki tiga seksi yaitu: Seksi Administrasi, Seksi Berita dan Pers, serta Seksi Propaganda. Dari ketiga seksi ini, hanya Seksi Propaganda yang dipimpin oleh seorang sipil, sedangkan dua seksi lainnya dipimpin oleh perwira militer dengan pangkat letnan atau letnan dua.

Aktivitas Sendenbu sendiri awalnya dilakukan dengan cara propaganda secara langsung, namun, lama kelamaan badan-badan propaganda pun dibentuk. Ada beberapa badan propaganda di tanah Jawa, di antaranya: Jawa Hôsô Kanrikyoku (Biro Pengawas Siaran Jawa), Jawa Shinbunkai (Perserikatan Surat kabar Jawa), Kantor berita Domei, Korespondensi Jawa Engeki Kyokai (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa),  dan Nihon Eigasha atau Nichi’ei.

propaganda jepang sendenbu japanesestation.com
Poster propaganda Jepang di Indonesia (wowshack.com)

Nah, mengutip jurnal Publications Read by the Indonesians during the Japanese Occupation in Indonesia: A Mirror of the Culturally Divided Society, the Literate and the Illiterate karya Yumeko Himemoto, pada April 1943 dibangunlah Keimin Bunka Shidousho (Keimin Cultural Guidance Center) yang dikepalai oleh direktur Sendenbu dam bertujuan untuk melatih seniman dan sastrawan Indonesia dengan penulis dan seniman Jepang seperti  kritikus Soichi Oya, penulis Rintaro Takeda, pelukis Takashi Kono, dan komposer Iida Nobuo dan masih banyak lagi sebagai instruktornya.

propaganda jepang sendenbu japanesestation.com
Poster propaganda Jepang di Indonesia (wowshack.com)

Dalam tulisan Dewi Yulianti, Sendenbu juga merekrut orang Indonesia sebagai propagandis yang didasarkan pada karier mereka sebelum perang. Mr. Muhammad Yamin ditunjuk menjadi Sanyo (penasehat untuk Sendenbu) dengan pertimbangan bahwa dia adalah seorang tokoh pergerakan nasional dan juga bekerja sebagai guru. Siti Nurdjannah (guru sekolah Islam yang aktif dalam sekolah Islam) juga dipilih sebagai propagandis; demikian juga Chaerul Saleh dan Soekarni (tokoh pemuda radikal yang mempunyai peranan penting dalam perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia). Beberapa seniman yang bekerja untuk Sendenbu yaitu R.M. Soeroso (pelukis), dan Iton Lesmana (perancang iklan). Keimin Bunkha Shidosho juga merekrut penulis, pelukis, dan musisi Indonesia terkenal yaitu: Armijn Pane dan Sanusi Pane (penulis), Utojo (musisi), Simanjutak (musisi), Koesbini (musisi), Agoes Djojosoemito (pelukis), dan Djauhar Arifin Soetomo (penulis sandiwara).

Nah, metode propaganda yang mereka lakukan pun bisa bermacam-macam. Misalnya melalui pidato atau lewat karya seni seperti penayangan film, pertunjukan drama, gamelan dan puisi untuk mengobarkan semangat pekerja romusha. Pekerja romusha ini juga “ditipu” solah-olah mereka itu “berguna” dengan merayakan keberangkatannya. Media pun diwajibkan untuk memuat tulisan atau artikel yang dapat meningkatkan keinginan kerja penduduk dan memperlancar perekrutan romusha.

Hal-hal di atas dilakukan agar masyarakat tak sadar bahwa mereka telah dijejali oleh propaganda. Jadi, mereka akan merasa “terhibur” padahal kenyataannya sangat jauh berbeda. Jahat ya? Tapi begitulah Jepang, mereka  memang jago membuat mangsanya tertipu.

Nah, itulah sekilas tentang Sendenbu, Departemen Propaganda Jepang di tanah Jawa!

Sumber:

Wikipedia: Sendenbu

Jurnal Drama di Masa Pendudukan Jepang  (1942—1945)

Jurnal Sistem Propaganda Jepang di Jawa

Jurnal 日本占領下インドネシアで読まれた刊行物―知識人とその他に分断された社会を映し出した鏡―

Jurnal イン ドネシアの歴史教科書 における「ロームシャ」について